KUNINGAN.- EMPAT pimpinan DPRD Kuningan, ternyata tidak ada satu pun yang mau
menanggapi statemen mantan bupati H. Aang Hamid Suganda soal geothermal.
Padahal, keempat pimpinan tersebut telah menandatangani surat penolakan eksplorasi
dan eksploitasi panas bumi Gunung Ciremai.
Ketua
DPRD Kuningan, Rana Suparman beserta ketiga wakilnya H. Yudi Budiana, Toto
Suharto dan H. Toto Hartono, memilih bungkam dalam mengomentari pertambangan
panas bumi. Bahkan, Ketua Komisi C, Nuzul Rachdy yang telah melakukan
rekomendasi kepada pimpinan, tidak mau lagi angkat bicara. “Kalau kami dari
komisi C sudah melakukan kajian dan mengeluarkan rekomendasi yang disampaikan
ke pimpinan. Selanjutnya, silakan ke pimpinan,” katanya kepada Seputar Jabar.
Namun
salah seorang wakil rakyat yang tidak mau namanya disebutkan, mengatakan, dampak
positif dan negatif itu dipastikan akan selalu ada. Itulah yang membuat lembaga
DPRD Kuningan mengeluarkan sikap politik berupa penolakan. “Masalahnya berada
pada WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) seluas 24 ribu hektare. Kalau memang Pak
Aang mengatakan yang digunakan hanya dua hektare, apa jaminannya? Di Garut
saja, rencana hanya tiga titik pengeboran ternyata sekarang ada 20 titik,” tandasnya.
Ia
menyodorkan data tentang pengelolaan SDA untuk kedaulatan negara. Data tersebut
berisi pemaparan mantan GM PT Indosat, Marwan Batubara, yang pernah membeberkan
regulasi tersebut. Disebutkan, pada 1968 terbit UU 6/1968 yang mencantumkan
ketentuan yang termaktub dalam pasal 3 ayat 1. “Perusahaan nasional adalah
perusahaan yang sekurang-kurangnya 51 persen daripada modal dalam negeri yang
ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara dan atau swasta nasional. Sesuai UU
ini asing sudah boleh memiliki saham hingga 49 persen,” katanya mengutip Marwan
Batubara dalam data tersebut.
Dalam
data tersebut Marwan juga menyebutkan perbandingan pendapatan yang diperoleh
asing dan dalam negeri dari sejumlah kasus. Pada kasus Natuna, misalnya, Blok
Natuna merupakan salah satu sumber cadangan gas terbesar di dunia. Potensinya
mencapai 46 triliun kaki kubik atau 1.270 miliar meter kubik gas, sesuai data
ExxonMobil. “ExxonMobil meraup seluruh bagi hasil dari Blok Natuna. Sedangkan
pemerintah hanya menerima pendapatan dari pajak,” kata dia seperti yang
diungkapkan Marwan.
Begitu
pula pada kasus Freeport. PT Freeport hanya memberi royalti bagi pemerintah
senilai satu persen untuk emas dan 1,5-3,5 persen untuk tembaga. Royalti ini
jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan enam persen
untuk tembaga serta lima persen untuk emas dan perak. “Penerimaan pemerintah
dari pajak, royalti, dan deviden PT Freeport hanya seperempat dari keuntungan
yang diperoleh PT Freeport. Tahun 1996 pemerintah hanya menerima 479 juta dolar
AS, sedangkan Freeport menerima 1,5 miliar dolar AS. Tahun 2005 pemerintah
hanya menerima 1,112 miliar dolar AS, sedangkan Freeport 4,179 miliar dolar
AS,” jelasnya, masih dalam data yang sama
Bukan
hanya itu, dia juga berbicara tentang kesejahteraan yang hendak dicapai dengan
dioperasikannya geothermal. Kajian terhadap para petani yang biasa meraup
keuntungan besar dari usaha taninya di lereng gunung, patut dilakukan. “Berapa
sih penghasilan petani di lereng gunung selama ini, baik dari jambu maupun dari
hasil tani lainnya. Saya dengar sendiri dari petaninya pendapatan dari itu bisa
mencapai Rp 30 miliar. Nah, kalau melihat hal tersebut, sisi mana yang mensejahterakan
masyarakatnya?” tanya dia. [deha]