Rabu, 11 Juni 2014

Soal Geothermal, Pimpinan DPRD Bungkam

KUNINGAN.- EMPAT pimpinan DPRD Kuningan, ternyata tidak ada satu pun yang mau menanggapi statemen mantan bupati H. Aang Hamid Suganda soal geothermal. Padahal, keempat pimpinan tersebut telah menandatangani surat penolakan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi Gunung Ciremai.
Ketua DPRD Kuningan, Rana Suparman beserta ketiga wakilnya H. Yudi Budiana, Toto Suharto dan H. Toto Hartono, memilih bungkam dalam mengomentari pertambangan panas bumi. Bahkan, Ketua Komisi C, Nuzul Rachdy yang telah melakukan rekomendasi kepada pimpinan, tidak mau lagi angkat bicara. “Kalau kami dari komisi C sudah melakukan kajian dan mengeluarkan rekomendasi yang disampaikan ke pimpinan. Selanjutnya, silakan ke pimpinan,” katanya kepada Seputar Jabar.


Namun salah seorang wakil rakyat yang tidak mau namanya disebutkan, mengatakan, dampak positif dan negatif itu dipastikan akan selalu ada. Itulah yang membuat lembaga DPRD Kuningan mengeluarkan sikap politik berupa penolakan. “Masalahnya berada pada WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) seluas 24 ribu hektare. Kalau memang Pak Aang mengatakan yang digunakan hanya dua hektare, apa jaminannya? Di Garut saja, rencana hanya tiga titik pengeboran ternyata sekarang ada 20 titik,” tandasnya.
Ia menyodorkan data tentang pengelolaan SDA untuk kedaulatan negara. Data tersebut berisi pemaparan mantan GM PT Indosat, Marwan Batubara, yang pernah membeberkan regulasi tersebut. Disebutkan, pada 1968 terbit UU 6/1968 yang mencantumkan ketentuan yang termaktub dalam pasal 3 ayat 1. “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51 persen daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara dan atau swasta nasional. Sesuai UU ini asing sudah boleh memiliki saham hingga 49 persen,” katanya mengutip Marwan Batubara dalam data tersebut.
Dalam data tersebut Marwan juga menyebutkan perbandingan pendapatan yang diperoleh asing dan dalam negeri dari sejumlah kasus. Pada kasus Natuna, misalnya, Blok Natuna merupakan salah satu sumber cadangan gas terbesar di dunia. Potensinya mencapai 46 triliun kaki kubik atau 1.270 miliar meter kubik gas, sesuai data ExxonMobil. “ExxonMobil meraup seluruh bagi hasil dari Blok Natuna. Sedangkan pemerintah hanya menerima pendapatan dari pajak,” kata dia seperti yang diungkapkan Marwan.
Begitu pula pada kasus Freeport. PT Freeport hanya memberi royalti bagi pemerintah senilai satu persen untuk emas dan 1,5-3,5 persen untuk tembaga. Royalti ini jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan enam persen untuk tembaga serta lima persen untuk emas dan perak. “Penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan deviden PT Freeport hanya seperempat dari keuntungan yang diperoleh PT Freeport. Tahun 1996 pemerintah hanya menerima 479 juta dolar AS, sedangkan Freeport menerima 1,5 miliar dolar AS. Tahun 2005 pemerintah hanya menerima 1,112 miliar dolar AS, sedangkan Freeport 4,179 miliar dolar AS,” jelasnya, masih dalam data yang sama

Bukan hanya itu, dia juga berbicara tentang kesejahteraan yang hendak dicapai dengan dioperasikannya geothermal. Kajian terhadap para petani yang biasa meraup keuntungan besar dari usaha taninya di lereng gunung, patut dilakukan. “Berapa sih penghasilan petani di lereng gunung selama ini, baik dari jambu maupun dari hasil tani lainnya. Saya dengar sendiri dari petaninya pendapatan dari itu bisa mencapai Rp 30 miliar. Nah, kalau melihat hal tersebut, sisi mana yang mensejahterakan masyarakatnya?” tanya dia. [deha]