Jumat, 13 September 2013

Teri Menangis, Kakap Tertawa



Dadang Hendrayudha
DI sebuah terumbu karang laut, bekas reruntuhan kapal Retorika Kemerdekaan yang masuk kedalam wilayah kedaulatan Negeri Matisuri, hiduplah dua ekor ikan menjalin persahabatan. Mereka adalah ikan teri bernama Teriweuh dan kakap yang akrab dipanggil Kakapeungan.

Pada suatu hari, kedua ikan itu sedang serius membahas alasan manusia memberikan istilah kepada pelaku kejahatan yang menggunakan nama ikan. Misalnya ada penjahat kelas teri dan penjahat kelas kakap. Karena  masing-masing mempertahankan argumentasinya sehingga keduanya nyaris baku hantam, maka disepakati untuk menemui penguasa lautan : Dewa Neptune.


Singkat cerita, keduanya sudah berada di dalam istana dan langsung menyampaikan aspirasinya. 

“Yang mulia penguasa lautan nan bijaksana, hamba ingin menyampaikan aspirasi dan memohon penjelasan, kenapa manusia suka memberi istilah nama ikan kepada pelaku kejahatan, yaitu penjahat kelas teri dan penjahat kelas kakap,” tanya Teriweuh.

Mendengar aspirasi itu, Dewa Neptune mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia beranjak dari singgasana dan berkata, “Wahai rakyatku, makhluk diciptakan berbeda-beda, ada yang berukuran kecil ada pula yang besar,” jawab Dewa Neptune. 

“Maaf yang mulia, apa hubungannya dengan nama ikan teri dan ikan kakap yang digunakan manusia terhadap istilah kejahatan?,” tanya Kakapeungan. 

“Penjahat kelas teri bagi pelaku kejahatan yang nilai barangnya kecil dan biasanya terdesak kebutuhan ekonomi sekedar menyambung hidup. Sedangkan pencuri besar seperti koruptor, uang yang dicuri jumlahnya puluhan juta hingga triliunan rupiah, dinamakan penjahat kelas kakap,” jawab Dewa Neptune. 

Menurut informasi dari burung camar, kata Dewa Neptune, manusia yang bertugas sebagai penegak hukum, terkadang citranya dirusak oleh oknum penegak hukum lainnya. Karena oknum itu lebih menyukai menangkap, memproses dan mengadili bahkan menghukum penjahat kelas teri dibandingkan penjahat kelas kakap. 

Spontan, ikan teri merasa penasaran dengan jawaban yang diucapkan Dewa Neptune. “Maaf yang mulia, mengapa manusia yang disebut oknum penegak hukum, perlakuan kepada penjahat kelas kakap berbeda, padahal semua penjahat kedudukannya sama di depan hukum?,” tanya Teriweuh. 

Dewa Neptune agak terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Sebelum menjawab, ia mengerutkan dahi sambil menghela nafas panjang. “Begini wahai ikan kecil, fenomena itu sudah menjadi hukum alam di dunia nyata, siapa yang kuat ia yang menang,” jawabnya. 

Ikan teri semakin penasaran dan kembali bertanya. “Maaf yang mulia, hamba semakin bingung mendengar penjelasan dari yang mulia dewa agung nan bijaksana,” tanya Teriweuh
“Baiklah,” kata Dewa Neptune sambil memerintahkan pengawalnya agar menutup pintu ruangan, takut ada wartawan yang mendengarkan. Setelah kondisinya dinilai aman, ia meneruskan ucapannya. 

“Penjahat kelas kakap, jumlah uang yang diambil lebih banyak dan bisa menyuap oknum penegak hukum, juga pelaku biasanya orang penting, seperti oknum pejabat pemerintah atau oknum politisi yang modus operandinya cukup hanya bicara dan tandatangan. Mereka disebut White Collar Crime atau orang yang memahami hukum tapi hukum bisa dijadikan permainan. Tapi penjahat kelas teri, jangankan menyuap, untuk makan saja masih serba kekurangan,” papar Dewa Neptune. 

Setelah mendengarkan penjelasan dari Dewa Neptune, tiba-tiba Teriweuh menangis tersedu-sedu menyesali nasibnya sebagai ikan teri. Berbeda dengan Kakapeungan, ia tersenyum bangga menjadi ikan kakap. 

Putri kesayangan Dewa Neptune yang bernama Putri Duyungwati sejak awal hanya diam seribu bahasa, tiba-tiba ikut bertanya. “Maaf Ayahanda nan bijaksana, paduka ingin bertanya, apakah benar ada manusia yang hidup di daratan ingin meniru sistem pemerintahan seperti kita. Kalau benar, mengapa ?”. 

Mendengar pertanyaan tersebut, Dewa Neptune menjawab, “Benar anakku, di sebuah daratan tepatnya di daerah pegunungan ada seorang demang pada tahun ini habis masa jabatannya dan rakyatnya akan memilih demang baru tapi isteri demang tersebut malah ikut mencalonkan,” 

Lalu sang putri kembali bertanya, “Maaf Ayahanda, apa hubungannya dengan sistem pemerintahan kita ?”. 

Kemudian Dewa Neptune menjawab, “Begini anakku, sistem pemerintahan kita adalah kerajaan, bila raja meninggal maka tahta ini akan diteruskan oleh pewaris kerajaan yaitu engkau anakku atau Ibunda Ratu. Sedangkan di daerah manusia yang tadi disebutkan bukanlah kerajaan tapi pemerintahan republik yaitu setiap 5 tahun sekali setiap pemimpin negara atau daerah akan dipilih oleh rakyatnya”. 

“Oleh karenanya”, sambung Dewa Neptune, “Manusia atau demang yang ada di daerah pegunungan itu ingin lebih besar dibandingkan si Kakapeungan dan rakyatnya seperti si Teriweuh sudah pasti banyak yang masuk penjara”. 

Mendengar penjelasan dari Dewa Neptune, Kakapeungan tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Teriweuh jatuh pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit. 

Akhirnya agenda penyampaian aspirasi ditutup dan seluruh penghuni lautan kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. 

 *) Penulis Wartawan Seputar Jabar di Kuningan/Redaksi Siaga Karya.Com