TANGGAL 15 September 2013 masyarakat Kabupaten Kuningan akan
menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon Bupati dan Wakil Bupati Kuningan,
setelah sebelumnya memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat tanggal
24 Pebruari 2013. Pemilu kepala daerah hingga presiden sejak tahun 2009
dipilih langsung oleh rakyat.
Hal itu merupakan implementasi dalam mengaktualisasikan
kemerdekaan menyatakan pendapat dan menjunjung Hak Asasi Manusia. Tahapan pelaksanaan
pemilu diatur UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2008,
UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik serta UU No. 10 Tahun
2008 Tentang Pemilu Legislatif.
Siapapun yang mencalonkan atau dicalonkan sebagai
kepala daerah (bupati/wakil bupati, walikota/wakil wali kota) hingga presiden
dan wakil presiden RI, harus mempunyai “kendaraan” melalui Partai Politik
(Parpol) sebagai pengusung maupun mendukung. Sedangkan
yang tidak diusung parpol menggunakan jalur independen atau perseorangan. Bagi
yang lolos verifikasi
dari pihak penyelenggara pemilu (KPU, red) maka
statusnya berubah dari bakal calon menjadi calon.
Perang strategi diluncurkan untuk menarik simpati
masyarakat dengan harapan memperoleh suara terbanyak dalam pemilu dan pemilukada yang secara de jure
maupun de facto berhak duduk di kursi singgasana. Tentunya, para kandidat harus
siap mental dan finansial. Biaya pemilu dan pemilukada bukan hanya tanggungjawab sang kandidat
namun APBN
dan APBD provinsi dan APBD kota/kabupaten pun turut tersedot
milaran hingga trilunan rupiah.
Persaingan antar kandidat include para pendukungnya
berdampak kepada “panasnya” hubungan sosial kemasyarakatan dan rentan
terjadinya konflik horizontal. Disadari atau tidak, rakyat merasa bangga dijadikan
komoditi politik antar kepentingan dalam prosesi
perhelatan demokrasi yang katanya LUBER (Langsung Umum, Bebas dan Rahasia).
Nasib kandidat sebagai pemenang pemilu maupun
pemilukada tidak sama dengan pemilihnya di TPS. Seorang kuli
bangunan tetap saja menjadi kuli bangunan. Buruh tani tidak berubah statusnya sebagai pemilik lahan pertanian. Begitu juga pengangguran
sulit mencari pekerjaan. Kalau begitu, dimana letak
kesalahannya ?. Apa yang dicari para pemilih, prinsipkah ?, ego sentriskah ?
ataukah demi selembar rupiah (pemilih pragmatis bukan pemilih rasional).
Maaf, penulis bukan anti demokrasi atau tidak setuju
dengan reformasi. Namun jika menyimak sila ke-empat dalam
Pancasila yang berbunyi : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” artinya calon presiden dan
wakil presiden, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh para wakil
rakyat di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
Dengan demikian, sistem pemilu dan pemilukada di Indonesia saat ini bertentangan dengan sila ke-empat
Pancasila yang merupakan satu-satunya ideologi Bangsa
Indonesia sejak Indonesia merdeka. Meskipun dinamika politik pasca
proklamasi 17 Agustus 1945 sempat terjadi perubahan, namun hingga kini sila-sila
dalam Pancasila adalah pedoman berbangsa dan bernegara dalam lingkup Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Penulis masih ingat, tahun 2004 pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Kuningan masih dipilih DPRD. Biaya yang diperlukan
berkisar 6-7 persen dari alokasi anggaran Pemilukada tahun 2008
yang membutuhkan biaya Rp. 10,5 miliar. Artinya uang sebesar Rp. 9,8 miliar sesunguhnya bisa lebih bermanfaat untuk pemberdayaan
ekonomi masyarakat Kabupaten Kuningan.
Dana untuk pemilukada selalu di atas Rp 1 miliar bahkan ada beberapa
provinsi yang biaya pilkada bisa mencapai Rp 1 triliun. Secara sederhana,
dengan rata-rata biaya per Pilwalkot atau Pemilihan Bupati (Pilbup) Rp. 25
miliar dan per Pemilihan Gubernur (Pilgub) Rp. 500 miliar, maka dalam 5 tahun
uang negara untuk pilkada di Indonesia minimal Rp. 30 triliun.
Hingga Desember 2012, Indonesia terdiri dari 410 kabupaten/kabupaten
administrasi dan 98 kota/kota administrasi yang tersebar di 34 provinsi.
Praktis, sebanyak 409 kabupaten, 93 kota, dan 34 propinsi harus melaksanakan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekali dalam 5 tahun. Secara sederhana, dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi 536 pilkada, atau minimal
rata-rata 44 pilkada per tahun, atau sekiar 1 pilkada per minggu.
Sedangkan data yang dirilis Sekretaris Jenderal
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra)
Yuna Farhan menyebutkan, biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp
25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar.
Dengan demikian, untuk keseluruhan
pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. (http://regional.kompas.com/read/2012/09/03/10011128/Pilkada)
Sedangkan versi pemerintah, total biaya pemilukada
secara langsung untuk seluruh Indonesia baik di kabupaten maupun provinsi
diperkirakan mencapai sekitar Rp 20 triliun, belum termasuk
Pemilu Legislatif dan Presiden. (http://beritamoneter.com/total-biaya-pilkada-sekitar-rp20-triliun/)
Apapun yang terjadi, sistem pemilihan presiden dan kepala
daerah yang dipilih langsung oleh rakyat harus tetap dilaksanakan karena sudah
diatur dalam undang-undang dan peraturan lainnya. Menegakkan
demokratisasi dan Hak Asasi Manusia dibutuhkan biaya yang sangat besar. Padahal
disisi lain, ekonomi masyarakat semakin terpuruk. Angka pengangguran
dan kemiskinan terus meningkat.
Andai saja uang rakyat yang dititipkan di APBN dan
APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota tidak dialokasikan untuk membiayai pemilu
dan pemilukada, maka BBM tidak perlu naik. Ekonomi rakyat tidak terjepit karena
harga sembako melejit. Tidak perlu berebut beras miskin (raskin) dan BLSM.
Biaya pendidikan bisa gratis hingga SLTA. Begitu pula berobat gratis ke
puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah.
Sekarang semuanya dikembalikan kepada rakyat
Indonesia, masih ingin tetap menjadi “barang dagangan” para elit politik dan
kepentingan seseorang ?. Ataukah adanya peningkatan ekonomi dan kesejahteraan ?.
Jawabnya : hanya anda yang tahu.
*) Penulis Wartawan Seputar Jabar di Kuningan/Sekretaris Pemuda Pancasila PAC Kec. Kuningan.