Dadang Hendrayudha |
KEBANGKITAN Nasional yang kita peringati
setiap tanggal 20 Mei merupakan tonggak perlawanan dan patriotisme Bangsa
Indonesia melawan invansi dan kolonialisme bangsa asing yang telah
mencabik-cabik harkat dan derajat Bumi Pertiwi selama berabad-abad lamanya. Gelora perjuangan telah merasuk jiwa dan raga serta darah
para pahlawan.
Batu nisan di Taman Makam Pahlawan dan monumen
perjuangan menjadi
saksi abadi betapa hebatnya perlawanan Bangsa Indonesia mengusir para
imperialis. Klimaks
perjuangan akhirnya bisa direngkuh.
Soekarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.
Waktu
terus berlalu. Namun perjuangan dan pengorbanan para pahlawan kemerdekaan hanya diperingati sebagai
bentuk seremonial saja. Hingga kini,
cita-cita dan perjuangan pendiri bangsa seolah-olah terlelap oleh hiruk
pikuknya dinamika Bangsa Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya sebagai bangsa
yang harus berperan aktif dalam
percaturan dunia.
Generasi demi generasi terus tumbuh dan berkembang.
Populasi penduduk Indonesia saat ini menempati urutan 5 besar di dunia.
Globalisasi dan pesatnya teknologi semakin membutakan mata untuk mengejar
ketertinggalannya dari bangsa lain. Modernisasi telah merubah sikap, mental dan
prilaku masyarakat. Budaya asing semakin menghiasi pola pikir social society
dan society social yang menyuguhkan fasilitas teknologi dan pola hidup serba
instant.
Jadi sangat wajar bila masyarakat sekarang sudah tidak
ingat lagi (atau melupakan) hakekat sebuah patriotisme dan nasionalisme yang
telah diwariskan oleh para pejuang dan pahlawan kemerdekaan yang hanya bisa dibaca
di buku-buku pelajaran yang diberikan guru di sekolah. Perjuangan para pahlawan
hanya untuk diingat ketika harus menjawab pertanyaan dalam sebuah ulangan atau
ujian demi memperoleh secarik kertas tanda kelulusan akademis.
Perjuangan pahlawan kemerdekaan tidak lagi dijadikan
pemahaman dan instropeksi diri. Siapa leluhur kita ?. Apa dan bagaimana bumi
yang kita pijak sekarang ini bisa terwujud ?. Ironis memang, dari generasi ke
generasi tidak lagi menjiwai makna Kebangkitan Nasional. Lau siapa yang bersalah
?. Jawabannya : ada dalam diri kita masing-masing !.
Kehidupan berbangsa dan bernegara harus terus berlanjut.
Rakyat Indonesia mulai Sabang sampai Merauke hingga kini statusnya masih tetap
sebagai “bangsa jajahan” dari kaum imperialis gaya baru. Penjajahan di bidang
ekonomi, budaya dan teknologi, tidak secara langsung dirasakan. Mengapa ?,
karena kita tidak lagi mengerti dan memahami apa itu Kebangkitan Nasional dan
telah melupakan jati diri sebagai bangsa besar yang berhasil memenangkan
berbagai pertempuran dalam merebut kemerdekaan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berdaulat politik, ekonomi,
menjunjung tinggi budayanya dan menghormati jasa para pahlawannya. Semoga saja !
*)
Penulis Sekretaris PAC Pemuda Pancasila Kecamatan Kuningan.