Oleh : Dadang
Hendrayudha
MAKELAR,
sebuah istilah yang sering kita dengar, terutama berhubungan dengan sebuah
transaksi jual beli. Makelar atau calo adalah orang yang menjual jasa terhadap
suatu penjualan barang maupun jasa. Dengan kata lain, makelar bisa juga disebut
penghubung antara penjual dan pembeli. Di lingkungan pebisnis dan pelaku
ekonomi, lebih menyukai sebutan : mediator.
Beberapa waktu lalu, istilah makelar menjadi booming
di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik dan
menempatkannya sebagai headline berita. Pasalnya, informasi tentang makelar
tersebut berawal dari “nyanyian” pejabat kepolisian
berpangkat jenderal. Tak pelak, masyarakat di tanah air seakan tidak percaya,
ternyata supremasi hukum hanyalah retorika.
Markus alias MAkelaR KasUS, sebuah istilah yang disandang oleh
orang yang memanfaatkan koneksitas hukum, mulai tingkat penyidik, kejaksaan
hingga pengadilan. Markus menebarkan pencitraan dan mengembangkan sayap
simpatiknya pada tatanan yang berpotensi untuk dipengaruhi. Biasanya
berhubungan dengan transaksi harga (penyuapan) maupun gratifikasi agar proses
hukum bisa diselesaikan dengan mudah, direkayasa bahkan di-SP3-kan mirip
pagelaran wayang golek : tutup lawang sigotaka.
Sikap berani sang jenderal polisi itu, bagaikan
bola panas dan genderang pertempuran yang ditabuh. Perang urat syaraf semakin
terbuka diantara mereka yang berkecimpung di bidang hukum. Tidak heran, jika
politisi, pengacara dan penegak hukum saling menyerang mempertahankan
argumentasinya.
Ketika deadlock, bahasa hukum menjadi senjata
pamungkas : atas nama hukum segala tudahan yang disangkakan harus didukung alat
bukti hukum !. Fenomena tersebut, akhirnya mengusik Presiden SBY yang
turut angkat bicara dan meminta kepada semua pihak, agar segera menuntaskan
carut marutnya supremasi hukum di Indonesia.
Bagi masyarakat, perang bintang menjadi polemik,
opini, analisa hingga anekdot yang semakin mengkristal dalam aspek kehidupan
sosial. Kondisi tersebut menjadi konsumsi publik dan peluang bisnis media
massa, baik cetak maupun elektronik. Hal itu berpengaruh kepada meningkatnya
tiras penjualan dan rating pembaca.
Tetapi kita lupa, sesungguhnya markus sudah
mencederai para pendiri republik ini. Kita hanya mampu berandai-andai : jika
para pejuang kemerdekaan dan proklamator masih hidup, dipastikan mereka akan
menangis melihat kondisi negara Republik Indonesia saat ini.
Markus tidak merasa gentar menghadapi gerakan
moral yang diusung para tokoh masyarakat, pemuka agama dan mahasiswa. Pasalnya,
epidemic markus hampir terjadi dimana-mana, baik di kota besar, sedang maupun
kecil.
Seperti halnya yang terjadi di salah satu
kabupaten di Indonesia, selain markus juga ada marmut. Bukan binatang mirip
tikus yang ukuran badannya lebih besar. Tapi marmut yang dimaksud adalah orang
yang menjadi MAkelaR MUTasi.
Modus operandinya dengan cara menawarkan posisi jabatan kepada pegawai
pemerintah untuk bisa menduduki jabatan tertentu yang dianggap basah.
Anehnya, marmut tersebut justru ditunggu oleh
para calon korbannya. Uang yang dikeluarkan sebagai ‘pelicin’ nantinya akan
kembali modal, karena akan mendapatkan fee proyek yang dikemas dalam rencana
kegiatan pembangunan fisik maupun non fisik yang bersumber dari APBD kabupaten,
bantuan APBD provinsi dan APBN. Cara kerja marmut sangat luar biasa karena
dilakukan secara kolektif dengan memanfaatkan kelengahan kepala daerah ketika
mengeluarkan kebijakan.
Celakanya lagi, di kabupaten tersebut semakin
diperparah oleh maraknya marwan. Lho, itu seperti nama orang ?. Bukan, marwan dimaksud
adalah MAkelaR WartawaN. Biasanya marwan mengaku sebagai
jurnalis atau pers yang menjadi backing oknum pejabat pemerintah untuk tidak
diekspos oleh jurnalis lainnya ketika disinyalir menyalahgunakan wewenang atau
tersandung kasus hukum. Marwan bagaikan “gladiator romawi” dan bersikap
seperti “pahlawan kesiangan”.
Sebutan marwan tidak ada dalam buku ilmu
jurnalistik, karena seorang wartawan identik dengan berita yang ditulis di
media cetak atau disiarkan di media elektronik. Jika tidak pernah menulis
berita karena tidak ada medianya, maka oknum itu disebut wartawan bodong atau
bodrek.
Pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi ?. Ada
beberapa pendapat mengatakan bahwa semua itu adalah buah reformasi dan
kebebasan pers yang salah kaprah. Kemudahan menerbitkan media massa dan
merekrut orang menjadi wartawan tanpa adanya selektifitas formal (testing) sesuai
latar belakang pendidikan jurnalistik atau berpengalaman di bidang media massa.
Jika media massa tidak terbit lagi karena bangkrut, tetapi wartawannya tetap
hidup. Jadi tidak heran, kita sering mendengar Wartawan Tanpa Suratkabar
disingkat WTS.
Markus, marmut dan marwan, adalah contoh sikap
dan perilaku manusia, agar pembaca mudah mengingat kembali ketika
berinstropeksi dan mengevaluasi diri. Penulis tidak bermaksud untuk
mendiskreditkan seseorang, apalagi membandingkan sikap idealis dan realistis.
Namun sebagai manusia, kita wajib bekerja sesuai kemampuan yang ditunjang latar
belakang pendidikan dan pengalaman agar tidak menyalahi tupoksinya. Apakah anda
termasuk kategori markus, marmut dan marwan ?, jawabannya : anda sendiri yang
tahu.
*) Penulis Sekretaris PAC Pemuda Pancasila Kuningan.