Kamis, 06 Juni 2013

Markus, Marmut & Marwan

Oleh : Dadang Hendrayudha
MAKELAR, sebuah istilah yang sering kita dengar, terutama berhubungan dengan sebuah transaksi jual beli. Makelar atau calo adalah orang yang menjual jasa terhadap suatu penjualan barang maupun jasa. Dengan kata lain, makelar bisa juga disebut penghubung antara penjual dan pembeli. Di lingkungan pebisnis dan pelaku ekonomi, lebih menyukai sebutan : mediator.

Beberapa waktu lalu, istilah makelar menjadi booming di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik dan menempatkannya sebagai headline berita. Pasalnya, informasi tentang makelar tersebut berawal dari “nyanyian” pejabat kepolisian berpangkat jenderal. Tak pelak, masyarakat di tanah air seakan tidak percaya, ternyata supremasi hukum hanyalah retorika.

Markus alias MAkelaR KasUS, sebuah istilah yang disandang oleh orang yang memanfaatkan koneksitas hukum, mulai tingkat penyidik, kejaksaan hingga pengadilan. Markus menebarkan pencitraan dan mengembangkan sayap simpatiknya pada tatanan yang berpotensi untuk dipengaruhi. Biasanya berhubungan dengan transaksi harga (penyuapan) maupun gratifikasi agar proses hukum bisa diselesaikan dengan mudah, direkayasa bahkan di-SP3-kan mirip pagelaran wayang golek : tutup lawang sigotaka.

Sikap berani sang jenderal polisi itu, bagaikan bola panas dan genderang pertempuran yang ditabuh. Perang urat syaraf semakin terbuka diantara mereka yang berkecimpung di bidang hukum. Tidak heran, jika politisi, pengacara dan penegak hukum saling menyerang mempertahankan argumentasinya.

Ketika deadlock, bahasa hukum menjadi senjata pamungkas : atas nama hukum segala tudahan yang disangkakan harus didukung alat bukti hukum !. Fenomena tersebut, akhirnya mengusik Presiden SBY yang turut angkat bicara dan meminta kepada semua pihak, agar segera menuntaskan carut marutnya supremasi hukum di Indonesia.

Bagi masyarakat, perang bintang menjadi polemik, opini, analisa hingga anekdot yang semakin mengkristal dalam aspek kehidupan sosial. Kondisi tersebut menjadi konsumsi publik dan peluang bisnis media massa, baik cetak maupun elektronik. Hal itu berpengaruh kepada meningkatnya tiras penjualan dan rating pembaca.

Tetapi kita lupa, sesungguhnya markus sudah mencederai para pendiri republik ini. Kita hanya mampu berandai-andai : jika para pejuang kemerdekaan dan proklamator masih hidup, dipastikan mereka akan menangis melihat kondisi negara Republik Indonesia saat ini. 

Markus tidak merasa gentar menghadapi gerakan moral yang diusung para tokoh masyarakat, pemuka agama dan mahasiswa. Pasalnya, epidemic markus hampir terjadi dimana-mana, baik di kota besar, sedang maupun kecil.

Seperti halnya yang terjadi di salah satu kabupaten di Indonesia, selain markus juga ada marmut. Bukan binatang mirip tikus yang ukuran badannya lebih besar. Tapi marmut yang dimaksud adalah orang yang menjadi MAkelaR MUTasi. Modus operandinya dengan cara menawarkan posisi jabatan kepada pegawai pemerintah untuk bisa menduduki jabatan tertentu yang dianggap basah.

Anehnya, marmut tersebut justru ditunggu oleh para calon korbannya. Uang yang dikeluarkan sebagai ‘pelicin’ nantinya akan kembali modal, karena akan mendapatkan fee proyek yang dikemas dalam rencana kegiatan pembangunan fisik maupun non fisik yang bersumber dari APBD kabupaten, bantuan APBD provinsi dan APBN. Cara kerja marmut sangat luar biasa karena dilakukan secara kolektif dengan memanfaatkan kelengahan kepala daerah ketika mengeluarkan kebijakan.

Celakanya lagi, di kabupaten tersebut semakin diperparah oleh maraknya marwan. Lho, itu seperti nama orang ?. Bukan, marwan dimaksud adalah MAkelaR WartawaN. Biasanya marwan mengaku sebagai jurnalis atau pers yang menjadi backing oknum pejabat pemerintah untuk tidak diekspos oleh jurnalis lainnya ketika disinyalir menyalahgunakan wewenang atau tersandung kasus hukum. Marwan bagaikan “gladiator romawi” dan bersikap seperti “pahlawan kesiangan”.

Sebutan marwan tidak ada dalam buku ilmu jurnalistik, karena seorang wartawan identik dengan berita yang ditulis di media cetak atau disiarkan di media elektronik. Jika tidak pernah menulis berita karena tidak ada medianya, maka oknum itu disebut wartawan bodong atau bodrek.

Pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi ?. Ada beberapa pendapat mengatakan bahwa semua itu adalah buah reformasi dan kebebasan pers yang salah kaprah. Kemudahan menerbitkan media massa dan merekrut orang menjadi wartawan tanpa adanya selektifitas formal (testing) sesuai latar belakang pendidikan jurnalistik atau berpengalaman di bidang media massa. Jika media massa tidak terbit lagi karena bangkrut, tetapi wartawannya tetap hidup. Jadi tidak heran, kita sering mendengar Wartawan Tanpa Suratkabar disingkat WTS. 

Markus, marmut dan marwan, adalah contoh sikap dan perilaku manusia, agar pembaca mudah mengingat kembali ketika berinstropeksi dan mengevaluasi diri. Penulis tidak bermaksud untuk mendiskreditkan seseorang, apalagi membandingkan sikap idealis dan realistis. Namun sebagai manusia, kita wajib bekerja sesuai kemampuan yang ditunjang latar belakang pendidikan dan pengalaman agar tidak menyalahi tupoksinya. Apakah anda termasuk kategori markus, marmut dan marwan ?, jawabannya : anda sendiri yang tahu.
*) Penulis Sekretaris PAC Pemuda Pancasila Kuningan.